Tulisan ini hanya sharing pengalaman. Pada hari Minggu tahun 2006, siang raja siang tidak kalah memancarkan
cahaya panas yang membakar jantung kota
Nabire, yang sekarang dijuliki sebagai teluk cendrawasih. Terik mata hari pada
siang hari itu seolah tidak mengisinkan masyarakat Kabupaten Nabire tidak
beraktivitas. Seusai gereja kami mengunjungi rumah sakit RSUD [Rumah Sakit Umum
Daerah] kabupaten Nabire, setelah mengunjugi kami pulang ke rumah.
Kami yang pulang dari yaitu, Marius, Agus, dan Kris sesampai di jalan
basar kris ikut jalan potong menuju rumah, sedangkan Agus dan Marius menuju
rumah lawat jalan raya. Kami setiba di pertigaan jalan menuju masuk rumah,
depan gereja katolik Kristus Raja Nabire, jalan inipula di gunakan masyarakat
menuju pasar sore, tempat berjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari demi
kelangsungan hidup sebagai makluk penghuni kolong bumi.
Setiba dipertigaan jalan mobil tulisan Kijan, Stop depan kami untuk
menurunkan penumpang dari pelabuhan Samabusa. Mobil stop lalu menurunkan
penumpang orang Papua lalu dia membayar Rp 5000, sedangkan ongkosnya Rp 6000,
lalu penumpang minta maaf kepada sopir karena kurang 1000. Pada saat itu juga
sopir tidak terima lalu, memaksa penumpang tetap bayar Rp 6000, tetapi
masyarakat itu tetap mempertahankan karena memang belum ada uang.
Orang Papua=Binatang
Setelah terjadi aduh mulut, tawar menawar maka secara tidak sengaja
sopir mengeluarkan kata-kata yang tidak senang di terima oleh masyarakat. Kata-kata yang dikeluarkan “ajing,
Babi, Bintang, kamu orang Papua itu sama saja, kaya binatang”. Lalu karena Marius tidak terima maka Marius mengatakan kepada sopir
secara spontan bahwa “Manusia itu jangan
kamu samakan dengan binatang, apa lagi tadi kamu bilang kita orang papua itu
sama dengan bintang, saya sebagai orang papua tidak terima, maksudnya
menasehati. Sebelum melanjutkan perkataan tersebut sopir sudah angkat kunci
Inggris yang biasa digunakan untuk memperbaiki mobil lalu memukul di kepalannya
Marius hingga berdarah.
Setelah itu Marius dan teman-teman yang ada disekitarnya mengeroyok
sopir mobil kijang tersebut hingga babak belur. Setelah itu ia pergi, sebelum
ia pergi, dia mengatakan “ saya akan lapor polisi jadi kamu tunggu” katanya.
Setelah itu semua orang ada disitu bubar”. Setelah kurang lebih satu jam
polisi tiba dengan dua mobil sabara dan 1 truk polisi dengan maksud kedatangan
mereka yaitu, menangkap Marius dan teman-teman lainnya. Polisi tidak
Tanya-tanya siapa pelaku tetapi mereka langsung menembak satu peluruh ke Udara.
Lalu karena masyarakat tidak terima maka terjadilah saling adu otot antara polisi dan masyarakat.
Sebelumnya panas lansung menjadi panas manusia yang melakukan pukul,
terjadi konflik antara polisi dengan masyarakat. Polisi mengunakan senjata sedang masyarakat
mengunakan alat tradisional yaitu, anak panah. Pada saat itu terjadi
perlawanana antara masyarakat dan
polisi. Sebelumnya polisi mereka turunkan truk satu saja tetapi bertambah
menjadi 10 truk yang diturunkan. Dalam hal ini tidak terjadi korban jiwa
tetapi luka-luka di masyarakat karena
dipukuli oleh popor senjata.
Penyiksaan
Dalam masalah ini polisi menangkap Marinus,
Marius. Lalu membawa ke Kantor Polisi Nabire.
Selama perjalanan Marinus disiksa, dengan memukulnya dia mengunakan popor
[ujung] sejata, milik Negara yang bermasud untuk melindungi dan mengayom
masyarakat. Setelah polisi membawa tiga pemuda ke kantor polisi maka masyarakat
menggunakan truk untuk kekantor Polres kabupaten Nabire, yang kini dijuluki
sebagai kota emas, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Situasi Nabire pada saat itu
menjadi kelabu, atau situasi yang tidak memungkinkan bagi masyarakat
beraktivitas seperti biasa.
Setiba dikantor polisi Marinus, Marius dimasukan
dalam sel, didalam mereka dapat pukul dari polisi, hingga babak belur.
Polisi memukul mengunakan senjata, dan
menendang kepala Marinus dengan sepatu laras, sakit dan pedih yang terjadi pada dia tetapi dia tetap bertahan saja.
Sebelumnya, Marinus mengatakan kepada polisi bahwa jangan memukul adik-adik
mereka berdua ini karena mereka adalah adik-adik saya jadi kalau mau memukul
berarti memukul saya saja. Marinus tidak saja dapat pukul, tetapi tikam di kepala sekitar empat
kali mereka mengunakan pisau sangkur biasa di bawah oleh polisi, untuk menikam
orang tersebut.
Stigma OPM
Setelah beberapa saat kemudian polisi mendatangi
dia di dalam sel lalu mananyakan kepada dia, dalam menanyakan, secara spontan
ada polisi satu yang mengatakan Polisi: Kamu OPM kah? Tanya polisi. Marinus
uga bertanya balik pada Polisi, Bapak, OPM itu apa kah?. Jawab Polisi: Orang-orang
yang selalu mengacaukan situasi di tanah Papua too. Marinus: Bapak, berarti
polisi-polisi Papua yang ada disini juga termasuk OPM sambil menunjuk Polisi
orang papua yang ada di dalam situ. Mereka pantas menanyakan hal tersebut kepada Marinus kerena Marinus
memunyai rambut yang gimbal. Karena sudah ada stigmatisasi terhadap orang papua
bahwa yang memunyai rambut gimbal adalah OPM, Makar, Sparatis. Dan tidak heran
bila Polisi Papua beranggapan bahwa orang papua yang memunyai rambut gimbal
itu, OPM.
Setelah itu, polisi mengambil tangan Marinus lalu suruh taruh diatas meja, maksud mereka
untuk mematahkan tangannya, mengunakan ujung senjata yang biasa dibawah oleh
polisi. Terjadi tawar menawar di dalam sedangkan polisi menang dan memberikan
tangan tersebut lalu polisi mencoba untuk mematahkan tetapi tidak patah juga,
setelah itu polisi mencoba untuk menikam, dikepala juga tetapi hal tersebut
tidak jadi. Segala penyiksaannya mereka bertiga lalui pada saat dalam sel.
Kini tiba saatnya, sang raja siang hampir
tertelan dari pelanet bumi, dan mulai
merambat untuk hilang di ufuk barat. Pejabat daerah turun tangan menyelesaikan
masalah tersebut. Marinus keluar dari dalam kaadaan tidak ada bentuk muka,
karena dapat pukul samapi babak belur. Marinus Keluar tidak ada bentuk muka.
Itu cerita penyiksaan polisi Nabire terhadap
masyarakat Nabire, Papua Marinus dan Marius, Karena Rp.1000. (Ado.dt).
0 komentar:
Posting Komentar