Oleh Agustinus Dogomo*)
Bukannya, ekonomi saja kapitalis
tetapi pendidikan juga bisa dikatakan dengan kapitalis. Sebelum masuk kita
harus pahami kata Kapitalis merupakam
suatu paham yang mengarah pada kaum bermodal, orang yang bermodal besar atau
orang yang sangat kaya. Berarti pendidikan kapitalis yaitu proses yang
menjadikan semua aset dalam pendidikan sebagai barang yang mendatangkan
keuntungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 622).
Kita melihat konteks Papua, semua
orang mengetahui bahwa sejak tahun 2001 Propinsi Papua di berikan Undang-Undang
No. 21 tentang Otonomi Khusus. Sekarang papua sudah 10 tahun berjalan dalam era
otsus dan mau mamasuki tahun yang ke 11 tetapi belum ada perubahan yang terjadi
secara siknifikan. Padahal setiap tahun dana otsus membanjiri tanah Papua. Dana
tersebut yang jelas pasti ada pengalokasian dana di berbagai bidang, seperti
kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Dana otsus diberikan oleh
pemerintah pusat kepada Provinsi Papua
dengan tujuan mensejaterakan rakyat Papua.
Di era otsus tidak di pungkiri bahwa ada banyak
masalah, khususnya penulis mau bahas dalam tulisan ini adalah pendidikan
Kapitalis di tanah Papua. Jangan heran kalau ada obral ijazah, banyak orang
papua yang membeli ijasah, banyak orang yang membeli bangku artinya kuliah atau
tidak kuliah yang penting bayar. Kita mengetahui bahwa mengapa hal itu terjadi?
Karena tidak ada transparan dana pendidikan di era otsus ini.
Memang untuk Provinsi Papua di
berikan dana otsus tetapi banyak terjadi masalah pendidikan kapitalis. Contohnya,
mau masuk TK (taman kanak) saja membutuhkan banyak biaya, apa lagi mau masuk
SD, SMP, SMA/SMU dan PT (Perguruan Tinggi). Di sini sangat terlihat sekali
bahwa pendidikan itu sangat kapitalis, padahal dalam undang-undang dasar 1945
sudah di katakana bahwa mencerdaskan bangsa. Itu menjadi slogan seketika tidak
bisa diimplementasikan.
Jangan heran kalau di era otsus
murid SD masih di bebani pembayaran SPP dan BP3, hal ini terjadi di distrik
Kaureh Kabupaten Jayapura. (baca: Judul Buku Dari Kampung Ke Kampung Perjalan
Jurnalistik Suara Perempuan Papua, hal: 147). Selama ini kita mengetahui bahwa
jayapura adalah ibu kota Provinsi Papua. Kalau ibu kota Provinsi Papua saja terjadi hal itu maka bagaimana
dengan daerah-daerah lain di Papua.
Mau masuk SMA kita harus
mempersiapkan uang dalam jumlah yang besar, karena mau masuk SMA pasti paling
kurang kita mempersiapkan 5 juta. 5 juta
untuk kita membayar satu tahun
uang sekolah 3 juta SPP dan 1,2 Juta
Asrama. Itu kalau sekolah berpola asrama.
Berarti kita harus mempersiapkan 5 juta. Lalu uang ini mau dapat di
mana, sedang orang tua petani.
Dampak dari pendidikan kapitalis
di era otsus di Provinsi Papua, terjadi peningkatan tingkat pengganguran, tingkat putus sekolah
meningkat, tingkat masalah social di papua meningkat, banyaknya tingkat butah
huruf, banyak proposal dari mahasiswa dan yang masuk di pemerintahan daerah.
Maraknya pembelian ijasah, obral ijazah. Belum kuliah sudah memunyai gelar,
pembelian gelar. Karena semua itu uang yang mengendalikannya.
Solusi yang dapat penulis
bisa menawarkan adalah harus ada
transparansi dana pendidikan otsus, Dana Operasional Sekolah (BOS) harus di
berikan ke setiap sekolah yang memang menjadi hak mereka. Pemerintah dan
masyarakat menyatukan padangan untuk berbicara mengenai pendidikan. Pendidikan
kapitalis harus di hilangkan agar semua
orang bisa sekolah. Kalau bisa dana otsus sungguh di berikan dan kepada tiap
sekolah dan setidaknya meringkan biaya pendidikan. Melengkapi fasilitas sekolah
yang kurang, ,memerhatikan nasib guru sebagai pahlawan tanpa jasa.
Pesan penulis bahwa, Dana Otsus
sifatnya sementara (masa kontrak 25 tahun),
maka mari kita gunakan dana Otsus
untuk mencetak orang papua yang berbobot, kritis, humanis, inovatif,
dan bermartabat agar bisa menjadi
pembaharu di tanah Papua Erah Otsus ini.
(Penulis: Mahasiswa Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, Anggota Komunitas Deto)
1 komentar:
Tulisan ini di posting untuk mempercantik blogger saja
Posting Komentar